FILSAFAT MORAL: TEORI DAN PRAKTEK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, yang harus dan yang tidak pantas dilakukan baik keharusan alamiah maupun keharusan moral. Keharusan alamiah terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam. Sedangkan, keharusan moral bahwa hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Saat ini, banyak suara-suara miring yang diperdengarkan oleh para ahli dan masyarakat pada umumnya tentang persoalan moralitas anak bangsa yang diduga telah berjalan dan mengalir ke luar dari garis-garis humanitas yang sejati. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan telah adanya dekadensi moral berkepanjangan yang akan berakibat penurunan harkat dan martabat kemanusiaan. Kualitas kemanusiaan selalu berkenaan dengan nilai-nilai moralitas yang teraplikasi dalam kehidupan nyata, baik dalam kehidupan individual dan sosial, maupun dalam bentuk hubungan dengan alam dan Penciptanya. Atas dasar tesis ini pula, wajar jika persoalan moral merupakan persoalan yang tidak akan pernah gersang untuk ditelaah.

Dalam kondisi seperti di atas maka diperlukan pemahaman dan kerjasama semua pihak untuk memikirkan moralitas generasi muda dengan merujuk pada filsafat moral. Pertanyaan pertama yang muncul ketika membicarakan filsafat moral adalah bagaimana seseorang harus hidup dengan baik saat ini maupun di masa mendatang. Pertanyaan dasar ini berkembang menjadi pertanyaan yang lebih spesifik, misalnya apakah yang disebut “baik” atau “tidak baik”, bagaimana cara mengetahui dan membedakan antar keduanya?

Pertanyaan tersebut akan semakin meluas menjadi mengapa seseorang harus berperilaku moral. Jika motivasi berperilaku moral dipengaruhi oleh unsur-unsur psikologis manusia, maka unsur psikologis apa saja yang mempengaruhinya? Pada akhirnya pertanyaan dasar tersebut akan berujung pada bagaimana cara menentukan suatu perilaku moral bila dihadapkan pada berbagai pilihan, prosedur apa yang harus dilalui dalam pengambilan keputusan moral.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep etika, norma, dan moral kaitannya denga Filsafat Moral?

2. Bagaimana analisis motivasi melakukan perbuatan moral?

3. Bagaimana analisis keputusan moral dan implementasinya dalam pembelajaran ?



C. Tujuan Penulisan Makalah

1, Mendeskripsikan konsep etika, Norma, Moral kaitannya denga Filsafat Moral.

2. Mendeskripsikan analisis motivasi melakukan perbuatan moral.

3. Mendeskripsikan analisis keputusan moral dan implementasi dalam pembelajaran.



D. Manfaat Penulisan Makalah

Dengan adanya tulisan ini diharapkan akan dapat memberikan informasi yang akurat dan menambah wawasan tentang:

1. Konsep etika, Norma, Moral kaitannya denga Filsafat Moral.

2. Analisis Motivasi Melakukan Perbuatan Moral

3. Analisis keputusan moral dan implentasi dalam pembelajaran



BAB II

PEMBAHASAN



A. Konsep Etika, Norma, Moral



Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah (cara berpikir) terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Namun demikian, ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.

Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.

Norma adalah kaidah, ketentuan, aturan, kriteria, atau syarat yang mengandung nilai tertentu yang harus dipatuhi oleh warga masyarakat di dalam berbuat, bertingkah laku agar masyarakat tertib, teratur, dan aman (BP-7,1993: 23). Menurut Poespoprodjo (1999: 133), “norma adalah aturan, standar, ukuran.”

Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan norma adalah kaidah, aturan, ketentuan, kriteria, standar, dan ukuran yang berlaku di masyarakat untuk dipatuhi agar tertib, teratur, dan aman. Norma-norma yang berada di masyarakat yaitu norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum.

Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral. Norma moralitas adalah aturan, standar, ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Moralitas seseorang tercermin dalam sikap dan perilakunya.

Moral berasal dari kata bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores atau manners, morals (Poespoprodjo,1986: 2). Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kaelan (2001: 180), mengatakan moral adalah suatu ajaran wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedangkan Kohlberg (Reimer,1995: 17), Moralitas bukanlah suatu koleksi dari aturan-aturan, norma-norma atau kelakuan-kelakuan tertentu tetapi merupakan perspektif atau cara pandang tertentu.

Dengan demikian, dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan moral adalah ajaran atau pedoman yang dijadikan landasan untuk bertingkah laku dalam kehidupan agar menjadi manusia yang baik atau beraklak.

Kajian tentang nilai menjadi kajian yang amat penting mengingat posisinya sebagai masalah awal dalam filsafat moral. Selain itu, kajian nilai menjadi kajian yang menyentuh persoalan subtansial dalam filsafat moral. Pertanyaan yang selalu muncul dalam kajian ini, apakah yang disebut “baik” dan “tidak baik”.

Terdapat dua aliran dalam kajian nilai (values) yakni aliran naturalisme dan nonnaturalisme. Dalam pandangan naturalisme, nilai adalah sejumlah fakta yang dapat diuji secara empiris. Misalnya sifat perilaku yang baik seperti jujur, adil dan dermawan atau kebalikannya menjadi indikator untuk menentukan predikat seseorang berperilaku baik atau tidak baik. Degan demimikian dengan konsekuensi dari setiap perbuatan adalah indikator untuk menetapkan apakah perbuatan seseorang itu baik atau tidak baik.

Berbeda dengan naturalisme, aliran nonnaturalisme memandang bahwa nilai bukanlah sekedar fakta tetapi lebih bersifat normatif dalam menentukan sesuatu apakah ia baik atau buruk, benar atau salah. Nilai tidak hanya ditentukan oleh konsekuensi dari suatu perbuatan melainkan dipengaruhi oleh intuisi moral yang dimiliki manusia, sebuah kesadaran langsung adanya nilai murni seperti benar atau salah dalam setiap perilaku, objek atau seseorang.

Immanuel Kant sebagai tokoh kelompok nonnaturalisme mengemukakan prinsip autonomy dan heteronomy dalam menentukan moralitas. Autonomy merupakan wujud otonomi kehendak (the autonomy of the will). Seseorang melakukan perilaku moral berdasar atas kehendak (the will) -yang teleh menjadi ketetapan bagi dirinya untuk melakukan perilaku moral- dan tidak ditentukan oleh kepentingan atau kecenderungan lain.

Sedangkan heteronomy atau disebut juga prinsip heteronomi kehendak (the heteronomy of will) menyatakan bahwa seseorang berperilaku moral karena dipengaruhi oleh berbagai hal di luar kehendak manusia. Pada prinsip ini, kehendak (the will) tidak serta merta menjadikan dirinya sebagai sebuah ketetapan (the law), tetapi sebuah ketetapan (the law) diberikan oleh objek tertentu melalui kaitannya dengan kehendak (the will).

Perilaku moral yang ideal dalam kacamata Immanuel Kant adalah perilaku moral yang lahir dan muncul dari desakan kehendak diri manusia sebagai makhluk yang berakal dan berbudi, sehingga setiap perilaku moral yang dilakukannya benar-benar lahir dari dirinya sendiri bukan dari luar dirinya. Menurutnya bahwa yang baik adalah kehendak baik itu sendiri. suatu kehendak menjadi baik sebab bertindak karena kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban disebut legalitas. Lalu, apakah kewajiban itu? Kant membagi kewajiban menjadi dua: imperatif kategoris (perintah yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. dan imperatif hipotetis (perintah yang mewajibkan tapi bersyarat). Imperatif kategorislah yang menurut Kant menjadi hukum moral. Karena itu, Kant sangat menekankan otonomi kehendak. Inilah kebebasan dalam artian Kant. Kebebasan tidak dalam arti bebas dari segala ikatan, tapi bebas dengan taat pada hukum, moral. (K. Bertens, 1999)

Sedangkan Aristoteles mengatakan bahwa manusia hidup ini mempunyai tujuan, dan tujuan yang ingin dicapai tidak lain hanyalah suatu tujuan antara untuk mencapai tujuan selanjutnya, dan Aristotelse mengatakan bahwa tujuan yang paling tinggi adalah mencapai kebahagiaan. Tugas etika ialah mengembangkan dan mempertahankan kebahagiaan yang telah dicapai dan ia juga mengatakan bahwa etika sebaiknya tidak dipelajari oleh orang muda, sebab mereka belum mempunyai pengalaman yang boleh disebut matang.

Menurut Aristoteles manusia akan mencapai kebahagiaan apabila ia menjalankan aktifitas secara baik, ia harus menjalankan aktifitasnya menurut keutamaan, hanya pemikiran yang disertai keutamaan dapat membuat manusia bahagia, dan dijalankan dalan jangka waktu yang panjang dan sifatnya stabil. Ada 2 keutamaan menurut Aristoteles yaitu Keutamaan Moral,dilukiskan sebagai sikap watak yang memungkinakn manusia untuk memilih jalan tengah antara dua akstrem yang berlawanan. Dan keutamaan lainnya adalah Keutamaan Intelektual, dimana rasio manusai mempunyai dua fungsi, disatu pihak berfungsi untuk mengenal kebenaran, dan dilain pihak rasio dapat memberi petunjuk suapay orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan tertentu. Dari sini ada dua keutamaan yang menyempurnakan rasio, yaitu kebijaksanaan teoritis, yang merupakan suatu sikap tetap, yang mempunyai kebijaksanaan ini adalah orang yang terpelajar, dan untuk mencapai kebijaksanaan ini harus melalui pendidikan ilmiah yang panjang.Kebijaksanaan praktis, adalah sikap jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengatakan yang mana dari barang-barang konkret boleh dianggap baik untuk hidupnya.

Berdasarkan pendapat Imanuel Kant dan Aristoteles dapat dikatakan bahwa seseorang berperilaku moral, lahir dan muncul dari desakan kehendak diri manusia sebagai makhluk yang berakal dan berbudi untuk mencapai suatu kebahagiaan.



B. Analisis Motivasi Melakukan Perbuatan Moral

Analisis mengenai motivasi perbuatan moral berawal dari pertanyaan mengapa seseorang melakukan perbuatan yang baik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak dapat terlepas dari dua pokok persoalan filsafat moral yang lain, yaitu kenapa seseorang harus melakukan yang baik dan bagaimana seseorang mengetahui apa yang baik?

Ada dua pendapat umum mengenai motivasi seseorang melakukan perbuatan moral. Pendapat pertama menyatakan bahwa perbuatan moral muncul karena ada dorongan dari dalam diri seseorang, yaitu pengaruh akal dan keinginan. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa perbuatan moral muncul karena pengaruh dari luar yaitu motif-motif masyarakat.

Pendapat pertama yang menyatakan bahwa perbuatan moral adalah pengaruh akal dan keinginan menimbulkan pertentangan di antara para filsuf moral, misalnya antara Hume dan Immanuel Kant. Hume berpendapat bahwa motif tindakan bukanlah akal, tetapi rasa (taste) yang berkaitan dengan kesenangan (pleasure) dan sakit (pain). Sedangkan Immanuel Kant berpendapat bahwa akal dan keinginan (desire) memiliki peranan dalam melahirkan perilaku moral. Kecuali akal dan keinginan (desire), adanya keinginan baik (good will) sangat menentukan perbuatan baik, yang berarti bahwa kebaikan apapun jika tanpa keinginan baik (good will) maka yang baik akan menjadi buruk.

Dalam pandangan Raghib al-Isfahani ( Muhammad Amril : 2002 ), akal memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan perbuatan moral. Perilaku seseorang muncul melalui tahapan-tahapan yaitu: sanih (lintasan pikiran), khatir (ide) yang akan memunculkan irada (kehendak) kemudian hazm (cita-cita) dan terakhir muncul dalam bentuk amal (perbuatan).

Lebih lanjut Raghib berpendapat bahwa perbuatan moral mulai nampak pada tahapan khatir (ide). Pada tahap ini, seseorang harus menguji khatir (ide) yang telah dimilikinya. Bila khair baik lebih dominan maka haruslah dijaga dan diteruskan menjadi perbuatan, sebaliknya jika sharr (kejahatan) lebih dominan maka harus segera dihilangkan agar tidak muncul irada yang buruk. Perilaku moral atau amoral sesungguhnya telah hadir dan dapat dikontrol pada tahap khatir (ide). Pada tahap irada, pengaruh akal ataupun syahwat semakin kuat pengaruhnya dalam menimbulkan perbuatan nyata. Bila pengaruh syahwat lebih kuat maka akan muncul perilaku amoral sebaliknya perilaku moral akan muncul jika pengaruh akal lebih kuat daripada syahwat.

Beradasarkan pendapat Emanuel Kant, Raghib al-Isfahani hal tersebut di atas jelas bahwa akal memilki peranan yang besar seseorang bertindak atau berperilaku moral . Namun demikian Raghib juga sepaham dengan pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan moral muncul karena pengaruh dari luar yaitu motif-motif masyarakat. Hal ini terlihat dari pendapatnya bahwa kehidupan bermasyarakat adalah keniscayaan untuk merealisasikan kehidupan bermoral (fadila), ahkam al sharia dan aturan-aturan agama yang lainnya juga membutuhkan kemasyarakatan. Dalam pergaulan sesama manusia, kita tidak boleh mengorbankan orang lain demi kepentingan diri sendiri, melainkan harus saling tolong menolong dan tidak saling menyakiti menuju kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.

Pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa orang di luar diri yaitu (masyarakat) bukanlah semata-mata alat untuk peralihan kepentingan individu, melainkan sebagai mitra untuk merealisasikan perilaku moral dan Eksistensi individu sebagai subjek moral sangat dipengaruhi oleh komunitasnya. Identitas individu ditentukan oleh keanggotaan dalam komunitasnya bahkan perilaku moral individu sangat bergantung pada komunitas dimana pelaku moral berada.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku bermoral dipengaruhi oleh faktor interen yang berasal dari dirinnya sendiri (dorongan akal keinginan dan faktor eksteren yang berasal dari masyarkat.



C. Analisis Keputusan Moral dan Implementasi Dalam Pembelajaran

1. Keputusan Moral

Keputusan moral merupakan bagian yang penting dalam kajian filsafat moral. Penetapan apakah suatu perbuatan itu” baik ” atau ”tidak baik” yang menjadi persoalan mendasar dalam kajian filsafat moral tidak lain adalah persoalan yang sangat terkait dengan persoalan keputusan nilai. Hal ini dikarenakan jawaban tentang persoalan ini terletak pada bagaimana pemberian keputusan nilai moral tersebut. Dalam pengertian ini dapat pula dipahami bahwa betapa eratnya kaitan antara kajian nilai dan keputusan moral dalam filsafat moral. Sebenarnya keputusan moral lahir melalui dua proses, yaitu moral deliberation dan moral justification.

Moral deliberation adalah proses pencarian alasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang selanjutnya dijadikan sebagai alasan untuk pembenaran atau tidak melakukan sesuatu yang selanjutnya dijadikan alasan untuk pembenaran atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan moral justification merupakan pemberian alasan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan oleh seseorang atau oleh setiap orang, pada masa lalu atau dalam lingkungan tertentu, serta menunjukkan pula kenapa suatu perbuatan itu baik atau tidak baik.

Untuk meningkatkan kemampuan siswa mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan pertimbangan moral, salah satunya menggunakan pendekatan atau model perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach) yang terkenal dengan Moral reasoning. Model atau Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).

Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).

Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: (1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; (2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.

Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut:

1 : Pra-konvensional

Pada tingkatan ini, anak merespon aturan tradisi, label baik-buruk; benar-salah, dengan menginterpretasi label dalam pemahaman hedonistik dan konsekuensi dari tindakan. Tingkatan ini juga menunjukkan bahwa individu menghadapi masalah moral dari segi kepentingan diri sendiri. Seseorang tidak menghiraukan apa yang dirumuskan masyarakat, akan tetapi mementingkan konsekuensi konsekuensi dari perbuatannya ( hukuman, pujian, penghargaan ). Anak cenderung menghindari perbuatan yang menimbulkan resiko. Tingkatan ini dibagi menjadi dua tahap :

Tahap 1 : Orientasi pada hukuman dan Kepatuhan. Jadi, alasan anak pada tahap ini bersifat phisik. Apa yang benar adalah bagaimana menghindari hukuman.

Tahap 2 : Orientasi pada instrumental. Tindakan yang benar apakah sudah sesuai atau memenuhi kebutuhan seseorang berdasarkan persetujuan Pada tahap ini adil dipandang sebagai sesuatu yang bersifat balas budi, saling memberi.

2. Konvensional

Pada tingkatan ini anak mendekati permasalahan dari segi hubungan individu- masyarakat. Seseorang menyadari bahwa masyarakat mengharapkan agar ia berbuat sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Perhatian kepada nilai keluarga, kelompok atau bangsa diterima sebagai nilai dalam dirinya. Terdapat konformitas interpersonal.

Tahap 3: Orientasi “good boy-nice girl”. Persetujuan antar personal. Menjadi orang yang diharapkan , dan tingkah laku yang baik adalah menyenangkan atau menolong orang lain . Pertimbangannya adalah “perhatian” (ia berbuat baik). Motivasi perbuatan moral pada tingkatan ini ialah keinginan memenuhi apa yang diharapkan orang yang dihargai. Pada diri anak telah timbul kesadaran bahwa orang lain mengharapkan kelakuan tertentu daripadanya.

Tahap 4 : Orientasi Kesadaran sosial. Perilaku yang benar adalah memenuhi kewajiban ( kesadaran imperatif ). Pada tingkatan ini, anak tidak lagi bertindak berdasarkan harapan orang yang dihormati, namun apa yang diharapkan oleh masyarakat umum. Dalam tingkatan ini hukum tampil sebagai nilai yang utama, yang dapat mengatur kehidupan masyarakat.

3.Post-Konvensional

Ada usaha yang jelas untuk memiliki moral dan prinsip. Memandang prinsip sebagai identifikasi dirinya.

Tahap 5: Orientasi Kontrak sosial dan hak-hak individu. Tindakan yang benar ditentukan dalam istilah kebenaran individu secara umum dan standard yang sudah diuji secara kritis dan disetujui oleh seluruh masayarakat. Suatu perasaan kesetiaan kepada hukum demi kesejahteraan semua orang dan hak-haknya. Pada tahap ini memandang kelakuan baik dari segi hak dan norma umum yang berlaku bagi individu yang telah diselidiki secara kritis dan diterima baik oleh seluruh masyarakat Kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial. Komitmen sosial dan legal dipandang sebagai hasil persetujuan bersama dan harus dipatuhi oleh yang bersangkutan.

Tahap 6 : Orientasi Prinsip Ethis Universal. Kebenaran ditentukan oleh prinsip ethis di dalam dirinya berdasar pada pemahaman logika universal ( keadilan, kesamaan hak dan kepatutan sebagai makluk individu). Seseorang bertindak menurut prinsip universal. Seseorang wajib menyelamatkan jiwa orang lain.

Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg (1971,1977) dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut: (a) Bahwa kunci untuk dapat memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan memahami filsafat moralnya, yakni dengan memahami alasan-alasan yang melatar belakangi perbuatannya, (b) Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu keseluruhan cara berpikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingkat pertimbangan moralnya, (c) Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian urutan perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.

Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep perkembangan moral menurut teori Kohlberg memiliki empat ciri utama. Pertama, tingkat perkembangan itu terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang. Seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat. Perkembangannya selalu ke arah tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat perkembangan itu selalu tersusun berurutan secara bertingkat. Dengan demikian, seseorang yang membuat pertimbangan moral pada tingkat yang lebih tinggi, dengan mudah dapat memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Ketiga, tingkat perkembangan itu terstruktur sebagai suatu keseluruhan. Artinya, seseorang konsisten pada tahapan pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat perkembangan ini memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbangannya.

2. Penerapan Moral Reasoning Dalam Pembelajaran

Pendekatan perkembangan kognitif (moral reasoning) mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena, pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.

Proses pengajaran nilai menurut Model moral reasoning didasarkan pada delima moral, dengan menggunakan metode diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilemma, baik dilemma hipotetikal maupun dilemma faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik (Superka, et. al. 1976; Banks, 1985). Menurut Reimer (1983 : 84) terdapat 10 isu moral universal (1). Laws and rules, (2) Conscience, (3) Personal roles of affection, (4) Authority, (5) Civil rights, (6) Contract, trust, and justice in exchange (7) Punishmen, (8) The Value of life , (9) Property rights and values, (10) Truth

Goleman (2003) menjelaskan bahwa moral reasoning lebih bersifat Emosional inteligensi, sehingga emosional inteligensi mencerminkan karakter. Dengan demikIan, menurut peneliti implementasi model moral reasoning dapat membantu siswa untuk berpikir kritis dan mengelola emosi yang akhirnya menjadi warga yang baik. Oleh karena itu, agar siswa dapat mengemukakan pendapat dan dapat membuat keputusan dengan pertimbangan moral yang lebih tinggi (intelektual emosional) guru ataupun siswa harus kreatif dan enovatif untuk mencari atau membuat suatu masalah yang dilematis yang di diskusikan di dalam kelas. Contoh delima Moral adalah sebgai berikut:

Berdasarkan peraturan dan kreteria kenaikan kelas di SMP negeri 22 Samarinda siswa yang nilai agamanya kurang dari 65 (tidak tuntas ) tidak naik kelas. Hernawati adalah salah satu siswa yang nilainnya belum mencapai 65, sehingga gurunnya yaitu Pak Sabarudin memberikan kesempatan padannya untuk mengikuti program remidial atau perbaikan. Hernawati setiap malam belajar agar nilainnya baik namun dia juga sangat cemas saat mengikuti ulangan, dia sangat takut jika nilai yang akan diperoleh dalam remidial kurang dari 65 sebab soal - soal yang yang diujikan hanya sebagian yang dapat di jawab sehingga dia berusaha dan berpikir untuk menyontek agar nilainnya baik. Ernawati berpikir bahwa dengan menyontek nilainya akan baik dan kemungkinan akan naik kelas. Jika Anda sebagai Ernawati tindakan mana yang Anda pilih menyontek dengan resiko merasa bersalah dan jika ketahuan akan mendapat sanksi dari guru atau tidak menyontek dengan resiko nilainnya jelek kemungkinan tidak naik kelas?

Latihan menyelesaikan masalah delima moral seperti di atas yang terkait dengan permasalahan yang dihadapi generasi muda (siswa) diharapkan dapat membantu membentuk kematangan moral siswa. Dengan demikian, diharapkan perkembangan moral siswa tidak terhambat. Di samping itu siswa dapat berani mengambil keputusan yang dilematis dengan pertimbangan moral



BAB III

PENUTUP



A. Kesimpulan

Dalam era globalisasi filsafat moral keberadaannya sangat penting, sebab filsafat moral dapat mengimpirasi dan mendorong manusia untuk berpikir dan menerapkan kebaikan atau berperilaku bermoral dalam kehidupannya. Untuk menciptakan generasi muda bermoral yang berani mengambil keputusan dengan pertimbangan moral khususnya pelajar diperlukan strategi diantarannya adalah penerapan model pembelajaran Moral Reasoning ( perkembangan moral) dalam pembelajaran di kelas.



B. Saran- Saran

1. Untuk meningkatkan moralitas generasi muda disarankan seluruh komponen, yaitu keluarga, pemerintah, dan masyarakat secara bersama sama untuk memberikan keteladan, pengawasan, pengarahan yang dilakukan secara sinegis dan sistemik.

2. Menggali konsep filsafat moral dan mengimplementasikan dalam berbagai kehidupan































Daftar Pustaka



Amril M. 2002. Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Raghib al-Isfahani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

BP-7 Pusat. (1993). Bahan penataran p4 terpadu bagi pegawai negeri Sipil. Jakarta: BP-7 Pusat.

Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.

Fraenkel, J.R. 1977. How to teach about values: an analytic approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Goleman, D. 2003. Intelegensi Emosional. Alih bahasa : Hermaya, T. Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama.



Kaelan. (2001). Pendidikan pancasila. Paradigma: Yogyakarta.



K. Bertens (200). , Etika. Jakarta: Gramedia.

Kohlberg, L. 1971. Moral Education of Psychological View ( dalam Lee C. Deighton : The Encyclopedia of Education, Vol 6. The Macmillan Company.



Kohlberg, L. 1971. Stages of moral development as a basis of moral education. Dlm. Beck, C.M., Crittenden, B.S. & Sullivan, E.V.(pnyt.). Moral education: interdisciplinary approaches: 23-92. New York: Newman Press.

Kohlberg, L. 1977. The cognitive-developmental approach to moral education. Dlm. Rogrs, D. Issues Lungdren, L. 1994. Cooperative Learning in The Science Classroom. New York: McGraw Hill Companies.



Poespoprodjo, W. 1986. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Karya

Reimer, J. et al. 1979. Promoting moral growth from piaget to kohlberg. New york & London: Longman Inc.

Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. 1976. Values education sourcebook.Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.